Senin, 27 April 2020

Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Buddha

Masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu telah memiliki kebudayaan sendiri, selama ini dipahami adalah proses masuknya budaya Hindu dan Buddha tak lepas dari aktivitas perdagangan yang terjadi di Tanah Air. Melalui perdagangan terjadilah akulturasi budaya. Akulturasi kebudayaan yaitu suatu proses percampuran antara unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan kebudayaan yang lain, sehingga membentuk kebudayaan baru. Kebudayaan baru yang merupakan hasil percampuran itu masing-masing tidak kehilangan kepribadian/ciri khasnya. Untuk dapat berakulturasi, masing-masing kebudayaan harus seimbang. Begitu juga untuk kebudayaan Hindu-Buddha dari India dengan kebudayaan Indonesia asli.

Kebudayaan Hindu dan Buddha pada umumnya dibawa oleh para pedagang yang berasal dari India. Akibat interaksi antara pedagang dan penduduk pribumi, maka terjadilah akulturasi kebudayaan Hindu dan Buddha dengan kebudayaan asli nenek moyang kita. Namun, bukan berarti kebudayaan asing tersebut diterima begitu saja oleh masyarakat Indonesia waktu itu, setiap budaya yang masuk mengalami proses penyesuaian dengan budaya asli di Nusantara. Bentuk akulturasi budaya Hindu-Buddha adalah dalam bentuk seni bangunan, seni rupa dan seni ukir, seni pertunjukkan, seni sastra dan aksara, sistem kepercayaan, dan sistem pemerintahan. Contoh hasil akulturasi antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan kebudayaan Indonesia asli sebagai berikut.

1. Seni Bangunan
Bentuk-bentuk bangunan candi di Indonesia pada umumnya merupakan bentuk akulturasi antara unsur-unsur budaya Hindu-Buddha dengan unsur budaya Indonesia asli. Bangunan yang megah, patung-patung perwujudan dewa atau Buddha, serta bagian-bagian candi dan stupa adalah unsur-unsur dari India. Bentuk candi-candi di Indonesia pada hakikatnya adalah punden berundak yang merupakan unsur Indonesia asli. Candi Borobudur merupakan salah satu contoh dari bentuk akulturasi tersebut.

Candi Budha di India hanya berbentuk stupa, sedangkan di Indonesia stupa merupakan ciri khas atap candi-candi yang bersifat agama Budha. Dengan demikian seni bangunan candi di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri karena Indonesia hanya mengambil intinya saja dari unsur budaya India sebagai dasar ciptaannya dan hasilnya tetap sesuatu yang bercorak Indonesia.

2. Seni Rupa dan Seni Ukir
Masuknya pengaruh India dalam bidang seni dapat dilihat pada relief atau seni ukir yang dipahatkan pada bagian dinding-dinding candi. Misalnya, relief yang dipahatkan pada dinding-dinding pagar langkan di Candi Borobudur yang berupa pahatan riwayat Sang Buddha. Di sekitar Sang Buddha terdapat lingkungan alam Indonesia seperti rumah panggung dan burung merpati. Dari relief-relief tersebut apabila diamati lebih lanjut, ternyata Indonesia juga mengambil kisah asli ceritera tersebut, tetapi suasana kehidupan yang digambarkan oleh relief tersebut adalah suasana kehidupan asli keadaan alam ataupun masyarakat Indonesia. Dengan demikian Indonesia tidak menerima begitu saja budaya India, tetapi selalu berusaha menyesuaikan dengan keadaan dan suasana di Indonesia.
 Masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu telah memiliki kebudayaan sendiri Akulturasi Kebudayaan Nusantara dan Hindu-Buddha
Pada relief kala makara pada candi dibuat sangat indah. Hiasan relief kala makara, dasarnya adalah motif binatang dan tumbuh-tumbuhan. Hal semacam ini sudah dikenal sejak masa sebelum Hindu. Binatang-binatang itu dipandang suci, maka sering diabadikan dengan cara di lukis.

3. Seni Pertunjukan
Menurut JLA Brandes, gamelan merupakan satu diantara seni pertunjukan asli yang dimiliki oleh bangsa Indonesia sebelum masuknya unsur-unsur budaya India. Selama waktu beraba-dabad gamelan juga mengalami perkembangan dengan masuknya unsur-unsur budaya baru baik dalam bentuk maupun kualitasnya. Gambaran mengenai bentuk gamelan Jawa kuno masa Majapahit dapat dilihat pada beberapa sumber, antara lain prasasti dan kitab kesusastraan. Macam-macam gamelan dapat dikelompokkan dalam chordaphones, aerophones, membranophones, tidophones, dan xylophones.

4. Seni Sastra dan Aksara
Pengaruh India membawa perkembangan seni sastra di Indonesia. Seni sastra waktu itu ada yang berbentuk prosa dan ada yang berbentuk tembang (puisi). Berdasarkan isinya, kesusastraan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu tutur (pitutur kitab keagamaan), kitab hukum, dan wiracarita (kepahlawanan). Bentuk wiracarita ternyata sangat terkenal di Indonesia, terutama kitab Ramayana dan Mahabarata. Kemudian timbul wiracarita hasil gubahan dari para pujangga Indonesia. Misalnya, Baratayuda yang digubah oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh. Juga munculnya cerita-cerita Carangan. Sastra yang berkembang di Indonesia tidak sama persis seperti aslinya dari India karena sudah disadur kembali oleh pujangga-pujangga Indonesia, ke dalam bahasa Jawa kuno. 

Perkembangan seni sastra yang sangat cepat didukung oleh penggunaan huruf pallawa, misalnya dalam karya-karya sastra Jawa Kuno. Pada prasasti-prasasti yang ditemukan terdapat unsur India dengan unsur budaya Indonesia. Misalnya, ada prasasti dengan huruf Nagari (India) dan huruf Bali Kuno (Indonesia).

Berkembangnya karya sastra terutama yang bersumber dari Mahabarata dan Ramayana, melahirkan seni pertunjukan wayang kulit (wayang purwa). Wujud akulturasi dalam pertunjukan wayang tersebut terlihat dari pengambilan lakon ceritera dari kisah Ramayana maupun Mahabarata yang berasal dari budaya India, tetapi tidak sama persis dengan aslinya karena sudah mengalami perubahan. Bentuk dan ragam hias wayang, muncul pula tokoh-tokoh pewayangan yang khas Indonesia. Misalnya tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Gareng, dan Petruk. Tokoh-tokoh ini tidak ditemukan di India. 

Perubahan juga terletak dari karakter atau perilaku tokoh-tokoh ceritera misalnya dalam kisah Mahabarata keberadaan tokoh Durna, dalam cerita aslinya Dorna adalah seorang maha guru bagi Pendawa dan Kurawa dan berperilaku baik, tetapi dalam lakon di Indonesia Durna adalah tokoh yang berperangai buruk suka menghasut.

5. Sistem Kepercayaan
Sejak masa praaksara, di Kepulauan Indonesia waktu itu sudah mengenal simbol-simbol yang bermakna filosofis. Mereka juga sudah percaya adanya kehidupan setelah mati, yakni adanya roh halus. Oleh karena itu, roh nenek moyang dipuja oleh orang yang masih hidup (animisme). Setelah masuknya pengaruh India kepercayaan terhadap roh halus tidak punah. Misalnya dapat dilihat pada fungsi candi, yaitu dimanfaatkan sebagai tempat pemujaan atau untuk menyimpan abu jenazah raja yang telah meninggal. Itulah sebabnya peripih tempat penyimpanan abu jenazah raja didirikan patung raja dalam bentuk mirip dewa yang dipujanya. Ini jelas merupakan perpaduan antara fungsi candi di India dengan tradisi pemakaman dan pemujaan roh nenek moyang di Indonesia.

Agama Hindu-Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda dengan agama Hindu-Budha yang dianut oleh masyarakat India. Perbedaaan-perbedaan tersebut misalnya dapat dilihat dalam upacara ritual yang diadakan oleh umat Hindu atau Budha yang ada di Indonesia. Contohnya, upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di India.

Bentuk bangunan lingga dan yoni juga merupakan tempat pemujaan terutama bagi orang-orang Hindu penganut Syiwaisme. Lingga adalah lambang Dewa Syiwa. Secara filosofis lingga dan yoni adalah lambang kesuburan dan lambang kemakmuran. Lingga lambang laki-laki dan yoni lambang perempuan.

6. Sistem Pemerintahan
Pada masa sebelum masuknya Hindu-Budha masyarakat Nusantara, mengenal adanya sistem pemerintahan secara sederhana. Pemerintahan tersebut adalah pemerintahan di suatu desa atau daerah tertentu. Rakyat mengangkat seorang pemimpin atau semacam kepala suku. Orang yang dipilih sebagai pemimpin biasanya orang yang sudah tua (senior), arif, dapat membimbing, memiliki kelebihan-kelebihan tertentu termasuk dalam bidang ekonomi, berwibawa, serta memiliki semacam kekuatan gaib (kesaktian). Setelah pengaruh India masuk, maka pemimpin tadi diubah menjadi raja dan wilayahnya disebut kerajaan. Hal ini secara jelas terjadi di Kutai.

Salah satu bukti akulturasi dalam bidang pemerintahan, misalnya seorang raja harus berwibawa dan dipandang bila sang raja memiliki kekuatan gaib seperti pada pemimpin masa sebelum Hindu-Buddha. Karena raja memiliki kekuatan gaib, maka oleh rakyat raja dipandang dekat dengan dewa. Raja kemudian disembah, dan kalau sudah meninggal, rohnya dipuja-puja.

7. Arsitektur
Dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat perbedaan dimana bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden berundak-undak,yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi bangunan candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut. Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan salah satu nama dewi Durga atau dewi maut, sehingga candi merupakan bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja dan orang-orang terkemuka.

Secara keseluruhan candi menggambarkan hubungan makrokosmos atau alam semesta yang dibagi menjadi tiga, yaitu alam bawah tempat manusia yang masih mempunyai nafsu, alam antara tempat manusia telah meninggalkan keduniawian dan dalam keadaan suci menemui Tuhannya, dan alam atas tempatdewa-dewa.

Kesimpulan
Kebudayaan Hindu-Budha yang masuk di Indonesia tidak diterima begitu saja melainkan melalui proses pengolahan dan penyesuaian dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur asli. Hal ini disebabkan karena:
  1. Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah perbendaharaan kebudayaan Indonesia yang telah ada sebelumnya.
  2. Kecakapan istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia atau local genius merupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada di Indonesia. Perpaduan budaya Hindu-Budha melahirkan akulturasi yang masih terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan Indonesia.